Pages

Minggu, 21 Agustus 2011

SUDUT PANDANG PSIKOSOSIAL


Perspektif Psikodinamik
            Paraphilia dipandang oleh para teoritikus sebagai sebagai tindakan defensive, melindungi ego agar tidak mengahdapi rasa takut dan memori yang direfres dan mencerminkan fiksasi di tahap pregenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang nmenghidap parafilia dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan heteroseksual yang wajar, babbhkan terhadap hubungan heteroseksual yang tidak melibatkan seks. Perkembangan social dan sesksualnya (umumnya laki-laki) tidak matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalani hubungan social dan heterokseksual orang dewasa umumnya (Lanyon, 1986)
Contohnya, fetisis dan pedofil dipandang sebagai laki-laki yang memiliki kecemasan kastrasai yang menyebabkan hubungan seks heteroseksual dengan perempuan dewasa menjadi sangat menakutkan. Kecemasan kastrasi membuat ekhsibisionis meyakinkan diri sendiri tentang  maskulinnya dengan menunjukan kelaki-lakiannya (alat kelaminnya) kepada orang lain, dan mengakibatkan sadistis melakukan tindakan mendaominasi orang lain
Voyuerisme memilih untuk memata-matai perempuan yang menyadarinya daripada melakukan kontak langsung dengan perempuan, jika perempuan yang diiintip oleh voyeur menyadari tindakan voyeur , ia bisa saja menyimpulkan bahwa perepuan tersebut tertarik padanya ; karena rasa tidak amannya sebagai laki-laki dan sebagai kekasi, hal itu sangat menakutkan baginya sehingga kurang menimbullkan gairah seksual. Maka mungkin seorang laki-laki terlibat dalam voyeurism bukan karena resiko tertangkap basah yang membuatnya tergelitik, namun lebih karena tindakan mengintip tanpa diketahui orang lain, karena hal itu melindungi voyeur dari kemungkinan terjalinnya hubungan dengan seorang perempuan dan mungkin merupakan  cara berhubungan yang kurang menakutkan baginya.
Perspektif Behavioristik
Interpretasi behavioral yang paling sederhana terhadap penyimpangan seksual adalah bahwa penyimpangan tersebut adalah merupakan hasil dari proses responden conditioning terhadap pengalaman seksual pada masa kecil, secara khusus masturbasi, yang kemudian menjadi stimulus yang berbeda ketika muncul.
Pada kasus sadism dan masokisme, teori behavioral menyebutkan bahwa seks, agresi, dan pengalaman terhadap rasa sakit dalam kondisi yang melibatkan emosi dan psikologis yang tinggi merupakan hal yang turut ambil bagian dalam diskriminasi stimulus yang muncul.
Paraphilia menurut perspektif behavioristik merupakan hasil pengondisian klasik. Contohnya, berkembangnya bestialiti mungkin terjadi sebagai berikut: Seorang remaja laki-laki melakukan masturbasi dan memperhatikan gambar kuda di dinding. Dengan demikian mungkin berkembang keinginan untuk melakukan hubungan seks dengan kuda, dan menjadi sangat bergairah dengan fantasi demikian.
Hal ini terjadi berulang-ulang dan bila fantasi tersebut berasosiasi secara kuat dengan dorongan seksualnya, mungkin ia mulai bertindak di luar fantasi dan mengembangkan zoophilia.
Perspektif Cognitive-Behavioral
            Beberapa teoris memiliki paradigma behavioral berpendapat bahwa parafilia terjadi karena pengondisian klasik yang terjadi secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan sekelompok stimuli yang oleh masyarakat sebagai stumuli yang tepat. Meskipun jarang disebutkan dalam literature terapi perilaku, teori ini dikemukan pertama dalam laporan Kinsey yang terkenal mengenai perilaku seksual laki-laki dan perempuan amerika (Kinsey, pomeroy, & martin,1948).  Sebagian besar teori behavioral kognitif  mengenai parafilia yang ada saat ini bersifat multidimensional dan berpendapat bahwa parafilia terjadi bila sejumlah factor terdapat dalam diri individu.
            Riwayat masa kanak-kanakindividu yang mengidap parafilia mengungkapkan  bahwa sering kali mereka sendiri mengalami pelecehan fisik dan seksual dan dibesarkan dalam keluarga dimana hubungan orangtua dan anak mengalami gangguan (mason, 1997; Murphy,1997). Pengalaman masa kecil tersebut dapat bekontribusi besar terhadap rendahnya tingkat keterampilan social dan harga diri, rasa kesepian, dan terbatasnya hubungan intim yang sering terjadi pada penderita parafilia (Kaplan & Krueger 1997). Dengan demikian parafilia dengan memamerkan alat kelamin atau mengintip dapat berfungsi sebagai pengganti hubungan dan aktivitas sex yang wajar. Disisi lain, banyak fakta bahwa pedofil dan ekshibisionis memiliki hubungan social-seksual yang wajar mengindikasikan bahwa masalah ini lebih kompleks dari sekedar disebabkan oleh tidak tersedianya sumber sex yang tidak menyimpang (langvin & lang 1987). Lebih jauh lagi keyakinan luas bahwa pelecehan seksual di masa kanak-kanak memicu seseorang memiliki perilaku parafilik setelah dewasa, perlu dikoreksi bahwa penelitian yang menunjukan bahwa kurang dari epertiga penjahat seks berusia dewasa yang mengalami pelecah seksual sebelum mereka berusia 18 tahun (maletzky, 1993).
            Hubungan orang tua –anak yang menyimpang juga dapat memicu permusuhan atau sikap negative pada umumnya dan kurangnya empati terhadap perempuan, yang dapat menignkatkan kemungkinan untuk menyakiti perempuan. Alcohol dan efek negative seringkali memicu tindakan pedofilia, voyeurism, dan ekshibisionisme.
            Penyimpangan kognitif juga berperan dalam parafilia, contoh seorang voyeur dapat meyakini bahwa seorang perempuan yang membiarkan tirai kamarnya terbuka ketika ia sedang berganti pakaian memang ingin dirinya dilihat oleh orang lain (Kaplan & Krueger, 1997). Berbagai hipotesis yang memfokuskan pada kognisi terkesan psikoanalisis. Contohnya, bebrapa ahli klinis yang menganut prespektif kognitif perilaku dan bebeapa pendapat psikodinamika menganggap trnasvetisme sebagai pelarian seorang laki-laki dari tanggung jawab yang dianggapnya dibebankan padanya semata-mata karena ia seorang laki-laki. Maka kemudian, pakaian perempuan diyakini memiliki makna khusus bagi laki-laki transvesit di luar gairah seksual yang dirasakannya dengan memakainya. Mungkin peran gender yang tidak terlalu kaku akan mengubah makna pakaian perempuan bagi laki-laki semacam itu.
            Berdasarkan perspektif pengondisian operant, Banyak parafilia yang dianggap diakibatkan sebagai keterampilan yang tidak memadai atau penguatan oleh orang tua atau kerabat terhadap ketidak wajaran perilaku. Contohnya riwayat kasus transvestite seringkali mengungkapkan insiden dimasa kanak-kanak dimana pada masa itu sering kali dipuji dan diperhatikan secara berlebihan karena terlihat lucu memakai pakaian ibunya.
Perspektif Interpersonal
Banyak penderita pedofilia yang miskin dalam keterampilan interpersonal, dan merasa terintimidasi bila berinteraksi seksual dengan orang dewasa. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa empat dari lima penderita pedofilia telah mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak. Kekurangmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan pegaulan bebas juga bisa menjadi penyebab paraphilia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar