Dalam DSM-IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Fantasi, dorongan, atau perilaku harus berlangsung setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Namun, hal ini tidak dapat didiagnosa menderita paraphilia jika fantasi atau perilaku tersebut tidak berulang atau bila ia tidak mengalami distress karenanya. Banyak peneliti dan ahli klinis mengabaikan criteria distress dan hendaya dalam definisi DSM, hal ini dikarenakan banyak menimbulkan perdebatan karena persyaratan adanya distress dan hendaya. Sedangkan faktanya banyak orang yang memiliki perilaku parafilia namun tidak merasakan distress dan hendaya (Hudson & Ward, 1997). Contohnya pada seseorang yang melakukan berulangkali berhubungan seks dengan anak-anak, namun tidak merasakan distress dan hendaya. Data mengindikasikan bahwa sebagian besar pengidap paraphilia apapun orientasi seksualnya adalah laki-laki, walaupun pada masokisme dan pedofilia banyak pada perempuan, namun tetap lebih banyak pada laki-laki.
Minggu, 21 Agustus 2011
SUDUT PANDANG BIOLOGIS
SUDUT PANDANG PSIKOSOSIAL
Perspektif Psikodinamik
Paraphilia dipandang oleh para teoritikus sebagai sebagai tindakan defensive, melindungi ego agar tidak mengahdapi rasa takut dan memori yang direfres dan mencerminkan fiksasi di tahap pregenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang nmenghidap parafilia dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan heteroseksual yang wajar, babbhkan terhadap hubungan heteroseksual yang tidak melibatkan seks. Perkembangan social dan sesksualnya (umumnya laki-laki) tidak matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalani hubungan social dan heterokseksual orang dewasa umumnya (Lanyon, 1986)
Contohnya, fetisis dan pedofil dipandang sebagai laki-laki yang memiliki kecemasan kastrasai yang menyebabkan hubungan seks heteroseksual dengan perempuan dewasa menjadi sangat menakutkan. Kecemasan kastrasi membuat ekhsibisionis meyakinkan diri sendiri tentang maskulinnya dengan menunjukan kelaki-lakiannya (alat kelaminnya) kepada orang lain, dan mengakibatkan sadistis melakukan tindakan mendaominasi orang lain
Voyuerisme memilih untuk memata-matai perempuan yang menyadarinya daripada melakukan kontak langsung dengan perempuan, jika perempuan yang diiintip oleh voyeur menyadari tindakan voyeur , ia bisa saja menyimpulkan bahwa perepuan tersebut tertarik padanya ; karena rasa tidak amannya sebagai laki-laki dan sebagai kekasi, hal itu sangat menakutkan baginya sehingga kurang menimbullkan gairah seksual. Maka mungkin seorang laki-laki terlibat dalam voyeurism bukan karena resiko tertangkap basah yang membuatnya tergelitik, namun lebih karena tindakan mengintip tanpa diketahui orang lain, karena hal itu melindungi voyeur dari kemungkinan terjalinnya hubungan dengan seorang perempuan dan mungkin merupakan cara berhubungan yang kurang menakutkan baginya.
Perspektif Behavioristik
Interpretasi behavioral yang paling sederhana terhadap penyimpangan seksual adalah bahwa penyimpangan tersebut adalah merupakan hasil dari proses responden conditioning terhadap pengalaman seksual pada masa kecil, secara khusus masturbasi, yang kemudian menjadi stimulus yang berbeda ketika muncul.
Pada kasus sadism dan masokisme, teori behavioral menyebutkan bahwa seks, agresi, dan pengalaman terhadap rasa sakit dalam kondisi yang melibatkan emosi dan psikologis yang tinggi merupakan hal yang turut ambil bagian dalam diskriminasi stimulus yang muncul.
Paraphilia menurut perspektif behavioristik merupakan hasil pengondisian klasik. Contohnya, berkembangnya bestialiti mungkin terjadi sebagai berikut: Seorang remaja laki-laki melakukan masturbasi dan memperhatikan gambar kuda di dinding. Dengan demikian mungkin berkembang keinginan untuk melakukan hubungan seks dengan kuda, dan menjadi sangat bergairah dengan fantasi demikian.
Hal ini terjadi berulang-ulang dan bila fantasi tersebut berasosiasi secara kuat dengan dorongan seksualnya, mungkin ia mulai bertindak di luar fantasi dan mengembangkan zoophilia.
Perspektif Cognitive-Behavioral
Beberapa teoris memiliki paradigma behavioral berpendapat bahwa parafilia terjadi karena pengondisian klasik yang terjadi secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan sekelompok stimuli yang oleh masyarakat sebagai stumuli yang tepat. Meskipun jarang disebutkan dalam literature terapi perilaku, teori ini dikemukan pertama dalam laporan Kinsey yang terkenal mengenai perilaku seksual laki-laki dan perempuan amerika (Kinsey, pomeroy, & martin,1948). Sebagian besar teori behavioral kognitif mengenai parafilia yang ada saat ini bersifat multidimensional dan berpendapat bahwa parafilia terjadi bila sejumlah factor terdapat dalam diri individu.
Riwayat masa kanak-kanakindividu yang mengidap parafilia mengungkapkan bahwa sering kali mereka sendiri mengalami pelecehan fisik dan seksual dan dibesarkan dalam keluarga dimana hubungan orangtua dan anak mengalami gangguan (mason, 1997; Murphy,1997). Pengalaman masa kecil tersebut dapat bekontribusi besar terhadap rendahnya tingkat keterampilan social dan harga diri, rasa kesepian, dan terbatasnya hubungan intim yang sering terjadi pada penderita parafilia (Kaplan & Krueger 1997). Dengan demikian parafilia dengan memamerkan alat kelamin atau mengintip dapat berfungsi sebagai pengganti hubungan dan aktivitas sex yang wajar. Disisi lain, banyak fakta bahwa pedofil dan ekshibisionis memiliki hubungan social-seksual yang wajar mengindikasikan bahwa masalah ini lebih kompleks dari sekedar disebabkan oleh tidak tersedianya sumber sex yang tidak menyimpang (langvin & lang 1987). Lebih jauh lagi keyakinan luas bahwa pelecehan seksual di masa kanak-kanak memicu seseorang memiliki perilaku parafilik setelah dewasa, perlu dikoreksi bahwa penelitian yang menunjukan bahwa kurang dari epertiga penjahat seks berusia dewasa yang mengalami pelecah seksual sebelum mereka berusia 18 tahun (maletzky, 1993).
Hubungan orang tua –anak yang menyimpang juga dapat memicu permusuhan atau sikap negative pada umumnya dan kurangnya empati terhadap perempuan, yang dapat menignkatkan kemungkinan untuk menyakiti perempuan. Alcohol dan efek negative seringkali memicu tindakan pedofilia, voyeurism, dan ekshibisionisme.
Penyimpangan kognitif juga berperan dalam parafilia, contoh seorang voyeur dapat meyakini bahwa seorang perempuan yang membiarkan tirai kamarnya terbuka ketika ia sedang berganti pakaian memang ingin dirinya dilihat oleh orang lain (Kaplan & Krueger, 1997). Berbagai hipotesis yang memfokuskan pada kognisi terkesan psikoanalisis. Contohnya, bebrapa ahli klinis yang menganut prespektif kognitif perilaku dan bebeapa pendapat psikodinamika menganggap trnasvetisme sebagai pelarian seorang laki-laki dari tanggung jawab yang dianggapnya dibebankan padanya semata-mata karena ia seorang laki-laki. Maka kemudian, pakaian perempuan diyakini memiliki makna khusus bagi laki-laki transvesit di luar gairah seksual yang dirasakannya dengan memakainya. Mungkin peran gender yang tidak terlalu kaku akan mengubah makna pakaian perempuan bagi laki-laki semacam itu.
Berdasarkan perspektif pengondisian operant, Banyak parafilia yang dianggap diakibatkan sebagai keterampilan yang tidak memadai atau penguatan oleh orang tua atau kerabat terhadap ketidak wajaran perilaku. Contohnya riwayat kasus transvestite seringkali mengungkapkan insiden dimasa kanak-kanak dimana pada masa itu sering kali dipuji dan diperhatikan secara berlebihan karena terlihat lucu memakai pakaian ibunya.
Perspektif Interpersonal
Banyak penderita pedofilia yang miskin dalam keterampilan interpersonal, dan merasa terintimidasi bila berinteraksi seksual dengan orang dewasa. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa empat dari lima penderita pedofilia telah mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak. Kekurangmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan pegaulan bebas juga bisa menjadi penyebab paraphilia.
SUDUT PANDANG SOSIOKULTURAL
Penyebab parafilia berdasarkan sosiokultural sangat beragam mulai dari faktor diskriminasi, lingkungan yang keras, dan pola asuh. Lingkungan keluarga dan budaya di mana seorang anak dibesarkan ikut memengaruhi kecenderungannya mengembangkan perilaku seks menyimpang. Anak yang orangtuanya sering menggunakan hukuman fisik dan terjadi kontak seksual yang agresif, lebih mungkin menjadi agresif dan impulsif secara seksual terhadap orang lain setelah mereka berkembang dewasa. Suatu sistem keluarga pun memberikan kontribusi dalam memunculkannya gangguan parafilia.
EXHIBITIONISM
Eksibisionisme adalah prefensi tinggi dan berulang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan memamerkan alat kelaminnya kepada orang yang tidak dikenal yang tidak pula menginginkannya, kadang kepada seorang anak. Secara mayorotas terdiri dari orang-orang yang berlawan jenis. Kadang-kadang demonstrasi alat kelamin tersebut disertai oleh oktivitas masturbasi.
Gangguan ini berawal dari masa remaja (Murphy, 1997). Seperti halnya pada vayourisme jarang ada upaya untuk melakukan kontak secara nyata dengan orang yang tidak dikenal tersebut.
Gairah seksual yang terjadi dengan berfantasi memaerkan alat kelaminnya atau benar-benar berfantasi atau ketika benar-benar memamerkannya. Pada sebagian besar kasus ada keinginan untuk mengejutkan atau membuat malu korbannya.
Bila digabungkan voyuerisme dan eksibisionnisme merupakan mayoritas dari seluruh kejahatan seksual yang berhasil diketahui. Frekuensi eksibisionisme jauh lebih banyak dikalangan laki-laki . dorongan untuk memamerkan alat kelaminnya tampak sangat kuat dan hamper tidak dapat dikendalikan pada eksibisionis atau flasheer, dan tampaknya dipicu oleh kecemasan dan kegelisahan serta gairah seksual. Seorang eksibisionis tetap melakukan aktivitasnya tersebut bahkan setelah mengalami cidera saraf tulang belakang yang membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah (defrazio, 1987), karena dorongan tersebut bersifat impulsive, pemmeran tersebut dapat dilakukan cukup sering dan bahkan dilokasi dan waktu yang sama dalam satu hari. Tampaknya para eksibisionis memiliki dorongan yang sangat kuat sehingga pada saat melakukan tindakan tersebut , mereka biasanya tidak memperdulikan konsekuensi social dan hokum dari tindakan mereka (steven&jones 1972). Dalam keputusan dan ketegangan yang dirasakan pada saat itu,mereka dapat mengalami sakit kepala dan jantungnya berdegup kencang serta timbul rasa ketidaknyataan (derealisasi). Setelah melakukan tindakan itu mereka langsung gemetar dan menyesalinya (boundn&hutchinton, 1960). Secara umum eksibisionis adalah orang yang tidak matang dalam mendekati lawan jenisnya dan mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonal. Lebih daris eparuh penghidap eksibisionis berstatus menikah, namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan pasangan (mohr, turner & jerry, 1964).
Dibandingkan dengan orang normal dan para penjahat seks yang melakukan penyerangan dengan kekerasan, para eksibisionis menunjukan gairah yang jauh lebih besar sebagai respon terhadap tampilan gambar-gambar perempuan yang berpakaian lengkap dalam situasi nonseksual, seperti naek escalator, atau duduk di taman, namun mereka menunjukan minat seksual yang sama tingginya sebagai respon terhadap tampilan gambar-gambar erotis dan vulgar. Hasil tersebut sejalan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa eksibishionis salah mengartikan tanda-tanda dalam fase pendekatan dalam hubungan seksual yang bagi para noneksibhisionis merupakan situasi nonerotis.
Penyebab gangguan ini antara lain :
a. Kecenderungan penderita yang kuat terhadap keyakinan bahwa masturbasi itu berdosa sehingga dengan menjadikan masturbasi sebagai bagian dari eksibisi genital, maka masturbasi bukan menjadi aktivitas tunggal
b. Orang eksibionis biasanya mengalami perasaan rendah diri, tidak aman, inadekuat dalam relasi social, serta memperoleh ibu yang dominan dan sangat protektif
c. Pada umumnya, eksitasi dari khalayak tempat penderita memamerkan alat kelaminya justru menjadi factor penguat bagi berulangnay perilaku eksibisi tersebut
Criteria eksibisionisme dalam DSM-IV-TR
1. Berulang intens dan terjadi selama periode 6 bulan, fantasi, dorongan atau perilaku yang menimbulkan dorongan seksual yang berkaitan dengan memamerkan alat kelamin pada orang yang tidak dikenal yang tidak menduganya
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut menyebabkan orang tersebut mengalami distress atau mengalami masalah interpersonal
Contoh Kasus Exhibitionism
Jakarta Betapa tak menyenangkannya punya pengalaman diganggu pria exhibitionist alias suka memamerkan alat kelamin. Namun rupanya pengalaman itu pernah dialami bintang sinetron Zaskia Adya Mecca. Zaskia bertutur ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, ia punya saudara seorang exhibitionist. Naasnya lagi pria itu tinggal serumah dengan Zaskia. "Dia suka menunjukkan alat vitalnya, nggak jelas maksudnya apa," ujar Zaskia ketika ditemui detikhot dalam acara perkenalan produk mainan Newboy Indonesia, di Ballroom 1 Hotel Mulia, Jl Asia Afrika, Jakarta Pusat, Kamis (12/4/2007).
Untungnya kejadian itu tak berlangsung lama karena Zaskia langsung melapor pada orang tuanya. Kendati demikian kenangan itu berbekas padanya. Mantan kekasih Sahrul Gunawan itu jadi sulit mempercayai pria bahkan saudara sekalipun. "Ya jangan percaya laki-laki tinggal di rumah. Apalagi kalau saya punya anak nanti. Saya tekankan supaya tidak seperti itu. Jangan sampai anak-anak terlepas dari pengawasan," tutur Zaskia yang bersikeras tak ingin kejadian masa kecilnya itu menimpa anak-anaknya kelak. Kini yang tersisa adalah kebencian dan rasa kesal mengapa ia harus mengalami kejadian tersebut. Terlebih pria exhibitionist itu adalah saudaranya sendiri.(yla/yla)
Langganan:
Postingan (Atom)